Bismillahirrahmaanirrahiim
"Namaku Edelweiss alias Anaphalis javanica. Biasanya aku tumbuh di
dataran tinggi atau puncak-puncak gunung. Oleh kalangan Botani, aku
sering disebut tanaman sejenis perdu, dan termasuk anggota famili
Compositae atau disebut juga Asteraceae (sembung-sembungan).
Bungaku kecil sebesar bunga rumput, orang lebih mengenalku dengan warna
putih daripada warna lainnya. Hidupku berge rombolan di ujung dahan
dengan harum yang khas. Tinggi batangku dapat mencapai 5 meter dengan
daun-daun runcing dan lurus. Bungaku istimewa, tak pernah layu, mekarku
abadi, sehingga aku dijuluki “bunga abadi”. Sungguh julukan inilah yang
menjadi ‘beban’ bagiku, karena banyak orang menyalahgunakan ‘arti’
keabadianku selama ini! Keabadianku mereka sama kan dengan ‘cinta
abadi’, cinta sepasang manusia yang tidak memiliki ikatan resmi. Ah….
Apalah arti protesku? Tho’ siapa yang peduli dengan rintihanku?
* * *
Aku berada di kamar Rieska. Tersusun rapi di atas lemari belajarnya.
Disampingku ada diktat kuliah, novel, majalah remaja dan…. Bunga-bunga
koleksi Rieska! Tepatnya sengaja disimpan Rieska. Yap! Untuk mengenang
siapa yang memberikannya! Aku memang lebih beruntung dari bunga Mawar
yang menjadi pendatang baru di kamar ini. Wajahnya pucat karena air di
dalam vas tersebut tak pernah diganti oleh Rieska. Sama halnya dengan
nasib Suplir yang telah mengering menjadi pembatas buku, lengkap dengan
spora yang masih menempel ditubuhnya, dan Anggrek yang merana karena
sebagian kelopak bunganya telah mengering.
Ya…. diantara
bunga-bunga milik Rieska, ternyata aku memang diperlakukan ‘istimewa’
oleh majikanku, Rieska! Aku ditaruh di dalam kotak berwarna biru muda,
berlapiskan plastik transparant. Aku sangat senang dengan perlakuan baik
Rieska, tapi…. aku sangat resah dengan label hitam yang bertuliskan
“Cinta Abadi” yang melekat manis di atas plastik kotak ini.
* * *
“Kamu beruntung yah, Weis, tempatmu empuk,” komentar Mawar suatu hari saat Rieska sudah pergi kuliah.
“Iya…. Weis, kamu nggak perlu ganti-ganti air sepertiku!” ujar Anggrek sedih.
“Ah…. Kalian bisa aja!” ujarku pelan.
“Tapi…. Benar kan memang kamu anak emas-nya Rieska! Apa karena kamunya
pemberian Ari pacar Rieska si anak gunung itu?” kali ini suara Suplir
dari balik buku angkat bicara. Ya… aku memang pemberian Ari Jaya Saputra
kekasih Rieska. Ari mengambilku ketika dia mendaki gunung Ciremai, Jawa
Barat. Aku diberikan kepada Rieska tepat ketika Rieska ultah yang ke-22
tahun, tepatnya enam bulan yang lalu.
“Ah…. Itukan pikiran
kalian saja kalo aku bahagia ada di sini, sebenarnya aku nggak terlalu
bahagia kok tinggal di sini!” ujarku.
“Kok bisa? Mengapa?” tanya Mawar keheranan.
“Nggak bahagia gimana? Diperlakukan istimewa kok nggak senang, nggak bersyukur kamu!” suara Anggrek ketus.
“Weiss…, seharusnya kamu bersyukur dengan keadaanmu saat ini, jangan belagu deh pura-pura nggak senang” timbal Suplir.
“Maksudku…. aku bersyukur kok Rieska menjagaku dengan baik di sini,
tapi…. yang membuat aku sedih Rieska selalu beranggapan kalo kesegaran
bungaku yang abadi menjadi simbol keabadian cinta Ari padanya,
padahal…..”
“Padahal apa? Maksud kamu apa sih? Aku jadi nggak
ngerti!” suara Suplir terdengar pelan memotong pembicaraanku. Tampaknya
susah payah ia berbicara dibalik lembaran buku dairy Rieska .
“Iya… nih Weis, maksud kamu itu apa?” tanya Mawar lagi. Aku berusaha
menjelaskan kepada mereka, tentu saja dengan bahasa kami kaum
bunga-bungaan.
“Aku ingin sekali Rieska menyadari keberadaan
kita. Rieska seharusnya berpikir ada apa dibalik kekuasaan Allah yang
telah menciptakan kita. Mereka seharusnya menjaga kita dengan baik,
bukankah mereka diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi
ini? Manusia seharusnya menyayangi dan merawat kita. Mereka seharusnya
berfikir coba kalo nggak ada Mawar, Anggrek, Suplir atau bunga lainnya
bagaimana? Dunia pasti suram tanpa penyejuk mata. Beda kalo ada kita,
mereka akan merasa senang dan tentram bila memandang si Mawar yang
sedang mekar, Suplir yang segar, atau Anggrek yang ….dan seharusnya
manusia yang melihat ‘keabadianku’ sebagai contoh bagaimana mengabadikan
hatinya sebagai rasa syukur ke hadirat Illahi” suaraku pelan, mataku
mulai berkaca-kaca menahan air mata yang hampir tertumpah.
“Kamu benar Weis, seharusnya manusia memang balajar dari fenomena alam,
seperti kita! Lihat bungaku, berwarna merah menawan, wangi semerbak.
Allah sengaja menciptakan duri-duri kecil dibatangku untuk menjaga
kehormatanku dari serangan makhluk yang jahil, agar tidak mudah dipetik
begitu saja. Kamu juga kan Weis, hidup ditepi jurang, sehingga
diperlukan perjuangan bagi siapa yang ingin memetikmu. Ah… seharusnya
manusia menyadari hal itu, mencontoh kita! Indah tapi tak mudah diraih!
Berbeda dengan manusia, coba saja lihat kaum wanitanya? Masih banyak
diantara mereka yang belum menyadari betapa pentingnya menjaga
kehormatan diri, mereka dengan mudahnya dipegang sembarang orang, pake’
wangi-wangian yang merangsang syahwat lelaki, berbicara dengan suara
yang mendesah, dan bangga mengubar aurat mereka. Sebenarnya mereka tahu
nggak sih kalo prilaku seperti itu dosa?” ujar Mawar prihatin.
“Kok kamu tahu banget,War perubahan manusia begitu?” tanyaku heran pada Mawar.
“Jelas dong aku tahu, aku kan pernah tinggal di taman depan rumah Asep,
teman kuliah Rieska, sehingga setiap hari aku bisa melihat dunia di
luar sana” jelas Mawar.
“Ah sudahlah… sekarang emang zaman
edan, yang pria berjas rapi menutup seluruh aurat, eh… wanitanya
berpakaian seksi minim bahan, apa itu namanya nggak kebalik dunia
sekarang?” sahut Suplir yang dulunya tinggal di teras depan rumah Bayu
pacar Rieska yang ketiga.
“Eh.. iya juga yah, kemarin malam aku
dengar di TV kalo aborsi semakin merajalela, koran-koran berbau porno
semakin meluas, kemana sih hati nurani mereka?” suara Aggrek pelan.
Anggrek memang pernah dibawah Rieska ke ruang keluarga dekat TV. Semua
terdiam dengan pikiran masing-masing, mereka berdzikir memuji asma
Allah.
* * *
“Ari…… ada yang ingin ku katakan”
terdengar suara Rieska di ruang tamu. Malam ini hanya mereka berdua yang
ada di rumah, mama dan papa serta kedua orang kakaknya Rina dan adiknya
Shanty pergi ke pesta pernikahan relasi papanya.
“Ada apa?” tanya Ari, mereka berdua duduk di sofa.
“Aku…aku …. Telat tiga minggu!Aku…ha…mil, Ari!”
“Hah? Kamu…hamil?” tanya ari keheranan, ini diluar dugaannya.
“Iya, kita harus segera menikah, Ari! Aku takut papa dan mama akan marah!” ujar Rieska gusar.
“Tidak! Aku tidak mau menikah sekarang! Kamu harus mengugurkan kandunganmu!”
“Ari! Aku nggak mau, ini anak kita! Kamu harus bertanggungjawab!” teriak Rieska bercampur tangis.
“Nggak, aku nggak mau, mungkin saja itu anakmu dengan pacar kamu yang lain!” cibir Ari.
“Ari… teganya kamu ngomong begitu, ini anak kamu Ari! Anak kita!”
“Pokoknya tidak! Kamu harus mengugurkannya, harus, titik!”
“Tidak! Aku nggak mau!
“Harus!” paksa Ari menarik tangan Rieska dengan keras.Tangis Rieska semakin kencang.
* * *
“Ari jelek! Lelaki brengsek!” teriak Rieska ketika masuk ke kamar. Ia
menghembaskan tubuh mungilnya ke atas kasur empuk disertai suara pintu
dibanting dengan keras. “Ada apa yah?” batinku bertanya penasaran.
“Hu….hu…., katanya cinta, katanya sayang, buktinya? Kamu jahat!” teriak
Rieska lagi, semakin keras terdengar. Rieska menangis, air matanya
menetes memasahi kemeja kotak-kotaknya.
“Eh… kawan-kawan, Rieska kenapa yah?” tanyaku pada Mawar, Anggreka dan Suplir.
“Nggak tahu, tidak seperti biasanya yah? Mungkin… Rieska ribut dengan Ari, atau berantem ama papa atau mamanya” tebak Anggrek.
“Ari…. Ka..mu…kejam! Ngakunya setia, cinta setengah mati, setia sampai
akhir zaman, tapi mana? Kamu …. Hu….hu… Cinta? Ah… Ari … ngaku cinta
abadi? Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu pergi meninggalkanku dalam
keadaan begini, kamu lelaki tak bertanggungjawab! Apa yang harus aku
katakan pada mama dan papa?” tangis Rieska semakin keras terdengar.
Rieska bingung harus bagaimana.
Tiba-tiba. Rieska berjalan
dengan tergesa menuju meja belajarnya, meraih kotak mungil yang
disimpannya dengan penuh kasih sayang selama ini.
“Percuma kamu
berikan aku dulu bunga Edelweiss kalo cintamu bukan cinta abadi, tapi
cinta murahan! Ngakunya cinta, tapi mengapa kamu tinggalkan aku dalam
keadaan begini?” tangis Rieska sambil membuka kotak mungil itu lalu
membuang seluruh bunga Edelweiss ke dalam tempat sampah yang berada
tepat di samping meja belajar. Melihat pristiwa tersebut, bunga lainnya,
Mawar, Suplir dan Anggrek menjerit histeris!
“Ja……ngan……!!”
teriak Mawar, Suplir dan Anggrek serentak. Tapi terlambat! Edelweiss
telah dibuang ke dalam tong sampah yang bercampur dengan sampah lainnya.
* * *
Namaku Edelweiss alias Anaphalis javanica. Biasanya aku tumbuh di
dataran tinggi atau puncak-puncak gunung. Kali ini aku berada dalam
gengaman seorang pemuda bernama Rahman. Ia mengamatiku dari tadi sambil
terus berdzikir memuji asma Allah.
“Ya… Rabb yang Maha Kuasa,
satu lagi telah Kau tunjukkan kebesaran-Mu. Menciptakan bunga Edelweiss
yang tahan layu dan tak lelah diterpa angin, tanpa pemudar dan tanpa
kekeringan. Ya… Rabb, seperti ini jugakah semangat saudara-saudaraku di
Palestina dalam menghadapi serangan Yahudi demi merebut kembali hak
mereka atas Masjid Al-Aqsa? Ya… Allah, kuatkan hati-hati kami untuk
merebut itu semua” lirih suara Rahman menyejukan hatiku.
Aku
hanya tumbuhan tanpa nyawa tapi aku merasakan betapa ia seorang pemuda
yang ‘berhasil’ mengenali alamnya dan terus berdzikir melihat ke-Esaan
penciptanya. Aku Edelweiss tersenyum bahagia dalam genggamannya.
By : Naqiyyah Syam (Lingkar pena)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar