Minggu, 26 Februari 2012


"Cinta di balik tirai hujan"

oleh Halal-kan Aku Ayah pada 30 November 2011 pukul 15:38 ·
Sayangnya kini  aku tak mengerti
Begitu berat rasa ingin memelukmu
Tapi kuhanya bisa mengingatmu
Karena kau tak pernah tau tentang rasa ini 
Suara emas Geisha masih setia menemani ketika aku duduk sendiri di halte kampus. Tatapanku tak mau berkedip melihat kendaraan yang berlalu lalang di hadapanku. Kedatanganku ke kota masa lalu bukan tanpa alasan. Aku ingin mengejar cita-cita dan mengintip cinta yang tertinggal. Ini adalah hari pertama datang ke kampus. Sambil menunggu angkot datang, kubuka kembali berkas-berkas dalam map biru. Gerakan tanganku berhenti menggenggam erat sebuah kertas ulangan bernilai enam puluh dengan tulisan bak cakar ayam. Sengaja kubawa kertas ulangan itu karena ia bukan sekedar kertas lusuh yang tak berarti, ialah awal yang mengantarkanku pada sebuah perubahan. Aku tersipu malu menatapnya. 
Belum sempat mesin pengingat otomatisku berjalan tiba-tiba terdengar suara rintik-rintik hujan. Aku berdiri, membiarkan tangan kananku menari ringan diantara tirai hujan yang menyapaku. Kuhirup lekat-lekat aroma basah aspal. Aku menikmati dentingan bunyi air hujan yang membentuk sebuah nada mengalirkan pikiranku untuk menepi ke masa lalu, udara sejuk meresap pelan ke ingatanku pada seseorang. Dia, kekasih hati yang kucinta dengan diam-diam ketika masih duduk di bangku SMP. Meski rasa ini tak terucap di hadapannya, sengaja kuambil kata cinta untuk dirinya karena dialah yang secara tidak langsung mendorongku untuk menggunakan cinta di jalan yang benar. 
Langkahku memaku karena telah berhadapan dengan sebuah bangunan besar dimana gapuranya bertuliskan “SMP TUNAS BANGSA”. Ini bukan keinginanku untuk masuk di sekolah favorit, tetapi mama terus memaksa karena dulu ayah sekolah disini. Mama ingin kelak aku bisa seperti ayah, menjadi seorang hakim. 
“Buuugh…!!!” Seseorang menabrak punggungku dari belakang. 
“Gendut,”  Aku melihat kesal, dia adalah Septi. Gadis usil yang selalu memusuhiku sejak duduk di bangku SD itu, juga sekolah disini. 
“Buuugh...!!!” Tabrakan ke dua untuk punggungku. 
“Item,” kali ini Novi yang bersuara. 
Mereka adalah sepasang sahabat kompak yang tidak menyukaiku. Karena menurut mereka, aku ini ...... 
“Jeeeleeeek…..” serempak mereka sambil menjulurkan lidah dan membelakangiku yang terbengong malu. Beberapa anak yang kebetulan lewat ikut menertawaiku. 
Awal yang membosankan. Kuletakkan tas berwarna coklat di atas meja barisan kedua dari depan karena inilah pesan mama sebelum berangkat ke sekolah. Mama menyuruhku untuk tidak duduk di belakang agar aku bisa menerima materi pelajaran yang disampaikan. Belum sempat duduk, kudengar suara cekikikan yang tidak asing lagi di kupingku. Pemilik suara itu tak lain adalah Septi dan Novi. Oh Tuhan, mengapa mereka harus sekelas denganku??? 
“Hai…” seorang gadis berwajah oriental menyapa, kuraih uluran tangannya. 
“Geisha, panggil aku Echa,” 
“Meylisa, biasa dipanggil Mey,” 
“Aku baru pindah ke kota ini, belum memiliki teman. Boleh sebangku ??” 
Kuiyakan dengan anggukan pelan. Syukurlah, Tuhan mengirimkan seorang teman. Kuharap kami bisa bersahabat baik. 
“Molotos bolon hojou dor, hotoko songot kocou. Bolonko tonggol ompot kopogong orot orot…” 
aku dan Echa menyanyi lagu balonku di depan Kak Reta salah satu pengurus osis dengan mengganti semua huruf vocal menjadi huruf “O”. Ini kami lakukan hanya untuk mendapatkan tanda-tangannya. Selama masa orientasi, pengurus osis layaknya artis dan kami para siswa baru adalah fansnya yang memburu untuk meminta tanda-tangan. Untuk mendapatkannya tak mudah, ada tantangan yang diberikan kepada kami. Setelah mendapatkan tanda tangan, tak jarang beberapa siswi yang centil meminta foto bersama kakak osis yang  menurut mereka berwajah tampan. 
“Meylisa...” 
“Saya, Kak,” jawabku sembari sedikit membungkukkan badan. Terlihat aneh tapi inilah ajaran mama, memberi hormat pada orang yang memanggil nama kita untuk pertama kalinya. Kak Reta memandangku dari ujung kaki ke ujung rambut. 
“Nih!” 
kuterima kertasku yang berisi sederetan nama pengurus osis dan sudah tertera tanda tangannya.
“Berarti kamu Geisha?” 
“Iya,” 
Ada semburat senyum di wajah Kak Reta. 
“Tulis nomer hapemu. Mungkin suatu saat nanti aku menghubungi untuk menjadikanmu sebagai model fotoku,” 
Tanpa ragu, Echa menulis nomer hapenya di kertas yang diberikan Kak Reta. Aku hanya bisa melihatnya, pastilah senang menjadi gadis seperti Echa. Banyak cowok-cowok yang menyukainya. Dia cantik dan ramah, melangkah sedikit saja sudah banyak yang mengajaknya berkenalan. Tidak seperti aku yang terus berkutat dengan kekuranganku. 
Echa menggandeng tanganku penuh sahabat. Baru kali ini aku berteman dengan cewek cantik. Dia sangat baik dan aku selalu minder di dekatnya. Bila kami berjejer seperti ini, angka “X” symbol kebalikan kami sangat mencolok. Dia cantik, aku jelek. Dia putih, aku cokelat. Dia langsing, aku endut. Kemana dia pergi selalu disapa tanpa menghiraukanku yang selalu ada di dekatnya. Mungkin diriku tak terlihat oleh mereka karena tertutup kesempurnaan Echa. 
“Sruuuuut!!!” Novi menarik kertas orientasiku ketika kami berpapasan di koridor kelas VIIA 
“Wuaaa si jelek ini ternyata hebat juga Sep, lihat..! semua nama telah terisi tanda tangan kecuali Kak Radit.” Aku berusaha merebut, namun tangan Septi lebih gesit mengambilnya. 
“Berikan kertas itu…!” teriak Echa. 
“Ckckckck…..ada pahlawannya ne yeeh. Heran deh sama kamu, kenapa suka banget berteman sama si jelek,item,ndut….urrrrfff. mending gabung aja sama kami,” 
“Sudah, berikan saja kertas itu!” 
Badan Septi cukup tinggi, aku tidak bisa meraih kertas yang dijunjung tinggi tangannya. Sambil tertawa riang, ia mengibaskan kertas ke udara dan angin yang begitu kencang membawanya terbang. 
“Ups…Sorry, kertasnya terbang. Hahahahaha...” itu bukanlah ucapan penyesalan. Tubuh gemukku mengejar kertasku yang terbangnya semakin tinggi. 
“Ayo ndut…kejar kalau bisa hahahahaha” Novi masih sempatnya mengejekku. 
“Jahaaat, ternyata hati kalian tidak secantik wajah yang dipunya.” ucapan Echa menghentikan tawa mereka.
Kulihat kertasku akan mendarat ke arah rimbunan pohon mawar, kupercepat langkah dan membungkuk mencarinya. Echa turut membantu namun kami sama-sama tidak menemukan. 
“Meylisa…” 
seseorang memanggil namaku. Kepalaku mendongak ke arah suara itu. Kikuk hati melihat papan nama di atas saku seragam putihnya. Raditya , dialah sang ketua Osis yang dielu-elukan oleh anak-anak karena paras wajahnya yang tampan. Selama ini aku hanya bisa mendengar dari cerita mereka dan sekarang aku bertemu dengannya. Tidak hanya itu, ia menyebut namaku. Mungkinkah ia telah mengenalku? 
“Iya,Kak?” sedikit kubungkukkan badan. 
Kak Radit tersenyum. Aku suka senyumannya, manis sekali. Ia berajalan menuju ke arahku. Sangat kurasakan sepoian angin mengipas rambutku ke belakang. Badanku terasa ringan merasa menjadi seorang putri yang dihampiri oleh sang pangeran. Beberapa pasang mata menjadi saksi pemandangan ini. 
“Ini yang kalian cari ya?” 
terjawab rasa GR-ku, ternyata Kak Radit mengetahui namaku dari kertas orientasiku. Hatiku menertawai kepolosanku. Seharusnya aku sadar, gadis sepertiku tak mungkin terlihat pandangannya. Kak Radit menarik kembali kertasku dan melihatnya dengan seksama. 
“Ternyata belum ada tanda tanganku ya?” 
tangannya merogoh bolpoint di sakunya, tanpa kuminta dia melukiskan tanda tangannya lalu menyerahkan kertas itu kepadaku. Senyuman dan sikapnya yang baik mulai memupuk lahan hatiku yang masih kosong. 
“Punyaku juga…!” Echa menyodorkan kertasnya. Kupandang lagi senyumannya, masih terlihat sama dan menghipnotisku diriku. 
“Terima kasih, Kak…” 
kompak kami dan Kak Radit berpamitan meninggalkan kami berdua yang langsung loncat ringan karena lengkap sudah pencarian tanda-tangan para pengurus osis, itu artinya kami akan terbebas dari hukuman. 
“Kak Radit cakep ya?” 
senyumanku pudar mendengar ucapan Echa. Ada rasa takut di hati jika Echa menyukainya karena Kak Radit akan memilih dia ketimbang diriku. Aduh, apaan sih? Belum apa-apa kog sudah takut. Siapa aku, siapa Kak Radit?? Sadar-sadar donk. Lirikanku mengarah pada punggung tegap Kak Radit yang membelakangi kami jarak jauh, selang beberapa detik Kak Radit menoleh dan tersenyum. Untuk siapakah senyuman itu? Kuharap bukan hanya untuk Echa tapi juga untuk diriku.
Alasanku tidak mau belajar di sekolah favorit adalah pergaulan yang terlihat individual, berkelompok dan mementingkan diri sendiri. Yang beken tambah beken sedangkan yang lemah tertindas dan mungkin tersisihkan. Guru hanya memperhatikan mereka yang berprestasi. Itulah awal penilaianku karena hanya berpacu pada sikap Novi dan Septi yang masih senang menggangguku. Aku mengira yang cantik dan cakep hanya untuk mereka kawan yang cantik dan cakep saja tidak untuk diriku yang dinilai jelek dan tidak berpotensi. Kini penilaian itu kutepis setelah bertemu dengan Echa dan juga Kak Radit. Penilaianku salah, tak seharusnya aku memandang suatu hal dengan kaca mata hitam sehingga hijaunya rerumputan dan cerahnya mentari kan terlihat gelap olehku. Tak seindah kenyataannya. 
Hari ini adalah pelajaran Bahasa Indonesia di kelas kami. Aku tidak suka pelajaran itu karena aku tidak mampu bermain dengan kata-kata. Aku lebih suka pelajaran berhitung yang hasil prosesnya pasti bukan kemungkinan. Sedangkan di pelajaran Bahasa Indonesia, otakku harus berpikir keras untuk mengembangkan kata menjadi kalimat. Mencari kalimat yang tepat untuk sebuah jawaban dan merangkai untaian kata kata hiperbola dalam mengarang. Alasan akhirnya, tulisanku jelek seperti cakar ayam. 
“Hari ini ibu akan bagikan hasil ulangan kalian minggu lalu,”
Ibu Leni, guru bahasa Indonesia kami menyuruh Vito sang ketua kelas membagikan hasil ulangan kami. Suasana kelas mulai gaduh tak sabar ingin melihat nilainya membuat Ibu Leni mengetok-ngetokkan mejanya. 
“Tok tok tok, tolong tenang sejenak. Ibu ingin mengumumkan nilai tertinggi dan terendah di kelas ini.”
Suasana hening. Sedangkan jantungku berdegup kacau sekacau hasil ulangan yang baru kuterima. Tertera nilai enam puluh di pojok kanan paling atas. 
“Nilai terendah adalah 40. Banyak kesalahan dalam menulis jawaban dan ia tidak mengumpulkan tugas mengarang. Untuk yang merasa memegang nilai 40 tolong nanti menemui ibu di waktu pulang nanti” 
Aku lega mendengarnya, ternyata masih ada siswa yang lebih membenci pelajaran bahasa Indonesia daripada diriku. Tapi siapakah dia? 
“Nilai tertinggi adalah 85, diraih oleh Yanela Geisha…” Terdengar riuh suara tepukan untuk Echa yang pipinya mulai kembang kempis antara senang dan sedikit malu-malu kucing. 
“Selamat ya,” bisikku. 
Lalu kudengar namaku disebut oleh Ibu Leni. 
“Oya, untuk yang bernama PutriMeylisa. Tolong perbaiki tulisanmu.!!!” 
“Huuuuuuuuuuuhuuuhhuhuhuhuhuuuuuu” 
ledekan terdengar serempak, suara Novi dan Septi-lah yang paling keras. Mungkin mereka merasa menang. Aku menunduk malu, bukan malu-malu kucing tapi malu-maluin. Echa memgang erat jemariku berusaha menenangkanku dari sikapnya yang lembut. 
“Mulai nanti, kita belajar bersama-sama ya!” bisiknya. 
Bel pulang mulai berbunyi. Layaknya anak yang masih di bawah umur tujuh belas tahun, beberapa penghuni kelas ini berebut ingin keluar kelas lebih dahulu. Merekapun saling berhimpit-himpitan dan dorong mendorong. Sebagian dari kami tertawa melihat aksi mereka. 
“Hei lihat, ternyata yang mengoreksi ulangan harian ini adalah murid-murid kelas 9B itu kan kelas KakRadit. Coba dilihat mungkin dia koreksi ulangan punya kita” celoteh Novi dan anak-anak yang mendengarnya membuka kembali tas mereka merogoh kertas ulangan. Aku juga ingin mengetahui siapa yang telah mengoreksi ulangan harianku. 
Setelah kulihat suasana sepi, di pojokan tempat parkir diam-diam kubuka pelan tasku. Sambil memejamkan mata kurogoh kertas ulanganku. Bola hitam mataku mengintip sedikit demi sedikit. 
Degh….!!! 
Korektor : Raditya /9B
~ Aku yakin tulisanmu bisa lebih baik dari ini~ 
Dadaku sesak seketika, cairan makna kata-katanya menyirami ladang hatiku menumbuhkan benih-benih bunga yang indah. Sedikit lagi bunga itu akan tumbuh merekah dan sanggupkah aku mengatasi kemajuan ladang hatiku yang tumbuh begitu cepat? 
Aku meloncat girang, berkali-kali kucium kertas ulanganku. Tanganku mengibarkan kertas ulanganku, pinggulku bergoyang ke kanan kiri. Namun gerakanku berhenti ketika tatapan Novi menangkapku. 
“Hahahaha ternyata penyakit si jelek lagi kambuh,”
matanya menerkam tajam kertas yang kupegang. Segera kumasukkan ke dalam tas berlalu begitu saja. Untungnya Bang Diman, sopir pribadi ayah telah siap menjemputku. Terserah besok ia akan meledekku apa, yang penting hari ini kertasku selamat. Aneh, mengapa Novi pulang sendiri? Kemanakah Septi? 
“Aku ingin les privat bahasa Indonesia, Ma …!”
rengekku ketika mama menyiapkan makan siangku. Mama tertawa geli berfikir aku hanya mencari perhatiannya saja.
“Dimana-mana tuh kalau mau les ya les matematika, bahasa asing, music atau apalah. Kok Mey malah minta les bahasa Indonesia. Emangnya Mey anak Jepang?” 
“Tapi aku butuh les itu Ma, aku mau belajar nulis,” 
“Hah?? bertahun-tahun mama nyekolahin Mey biar bisa nulis. Kok sekarang masih mau belajar nulis?”
“Tulisanku jelek,” 
“Hahahahhaa, kalau itu mama sudah tau, salah Mey juga lebih suka ngotak-ngatik computer dan maen itung-itungan. Kalau dibilangin malah jawab tulisan dokter juga jelek” 
Mungkinkah Meylisa akan punya Guru Les???
Siapa ya?????
      Mama tidak memberi solusi untuk masalahku. Untungnya Bi’ Minah mendengar percakapan kami , iapun memberia aku “Tips”. Setiap pagi aku mengikuti saran Bi’ Minah untuk memainkan buah jeruk nipis diantara sela-sela jariku, memutarnya dan berusaha menahan dalam genggamanku. Katanya senam jari itu melatih jari-jari agar bisa lebih lemas sehingga tangan kita tidak kaku di saat menulis.

Ting tong ting….
Sudah bisa kutebak siapa yang memencet bel sore-sore begini.
“Biar aku yang buka, Ma!” seruku berlari kecil menuju pintu depan.
Dugaanku tidak salah. Seorang gadis cantik berkaos pink dan menyelempangkan tas mungilnya ada dihadapanku. Senyumannya mengembang tulus. Sambil menggandeng tangannya aku mengajaknya masuk ke kamar.
“Gimana udah siap?” tanyanya.
“Pasti donk….”jawabku.
Aku mengambil beberapa peralatan tulis namun Echa malah memberi aku dua buah diary.
“Untuk apa?”
“Untuk sarapan, xixixixixi….ya untuk menulis-lah. Diary pink ini adalah diaryku sejak SD dan yang biru punya Mey. Mulai saat ini Mey harus ngebiasain nulis-nulis di diary terserah deh mau nulis apa. Nulis tentang aku, atau Novi dan Septi yang usil juga gak papa hihihihi,” Echa memperlihatkan mata sipitnya semakin sipit.
“Kata Mamaku, kalau kita membiasakan menulis hal-hal di sekitar kita itu melatih otak untuk terus berfikir dan berfikir,,,,sehingga kita punya kamus kata,”
Aku manggut-manggut mendengarnya. Dalam hati bingung enaknya mau nulis apa ya??
“Sekarang kita mulai nulis yuk!” ajaknya
“Boleh liat punya Echa ga?”
“Yeee gak boleh donk,,,emangnya ini ulangan peke acara nyontek…hehehe. Udah nulis ajah, terserah deh..tentang Bi’ Minah juga boleh hihihihi,”

Tidak lama kemudian, mama masuk ke kamar membawa makanan ringan dan minuman segar. Mama sangat senang sama Echa. Oya, ini pertama kalinya temanku main ke rumah. Selama ini tidak ada teman yang mau bermain denganku apalagi berkunjung ke rumah. Hufht…

♥ Eheeemmm….buat teman-teman yang udah baca cerita ini dari awal, maaf ya…guru les-ku bukan Radit tapi Echa teman sebangkuku ^_* ♥

Sore hari, Echa sering bermain ke rumah untuk mengajariku menulis rapi dan malam harinya aku mencoba menulis kisahku dalam buku harian dimana peran utamanya adalah aku dan Kak Radit. Tak hanya itu, aku mulai gemar membaca untuk menampung kata-kata dalam tandonku yang nantinya bisa digunakan ketika ada tugas mengarang.

Tulisanku terlihat sedikit rapi dari sebelumnya, satu per satu tugas mengarangku yang dinilai layak oleh Bu Leni bertengger di mading. Satu karya tentang cinta diamku duduk manis di majalah remaja.

“Hari ini Ibu ingin mengucapkan selamat kepada salah satu teman kita semua. Yaitu Putri Meylisa, salah satu karya tulisnya lolos untuk diikut sertakan dalam lomba LKTIR tingkat provinsi. Selamat ya Meylisa….mulai minggu depan, setiap sore kamu dalam bimbingan ibu untuk berlatih. Oke …”

Plok…plok…plok…
Tepukan riuh terdengar, teman-teman langsung menghampiri dan menyalamiku satu per satu. Ada juga jabatan tangan Novi dan Septi meski terasa berat dan kaku. Mataku membening, aku senang akan hal ini merasa keberadaanku telah dianggap ada oleh meraka. Ini semua berkat Mama, Bi’Minah, Echa dan juga Kak Radit …… hihihihi.
      ~ Selamat ya ^_^ ~
Sebuah kertas sengaja diselipkan di lokerku. Aku tidak tau siapa yang telah berani menulisnya, kuperhatikan sejenak tulisannya. Goresan penanya mengingatkanku pada tulisan Kak Radit, akupun membandingkannya. Dadaku sakit, kemiripan goresan pena itu membuat perasaanku terus mengembang.

Entah kekuatan dari mana, langkahku ringan mencari sosok Kak Radit ingin menanyakan kebenaran ini. Sebuah sikap konyol namun harus kulakukan karena ku tak sanggup menahan rasa ini sendiri. Dengan mengikuti firasat aku berjalan menuju lapangan basket. Tebakanku benar, Kak Radit sedang asyik bermain basket dengan teman-temannya. Namun niatku terhenti, aku menggigit kuat-kuat bibirku. Serasa ada beban berat yang menindih kepalaku, dadaku sesak bergemuruh tidak karuan. Kupastikan tubuhku seimbang ketika kulihat seorang siswi berkulit putih memanggil Kak Radit, ia menghampiri tuk memberi sekotak bekal dan Kak Radit menerimanya dengan ramah. Siswa disekitar bersorak kepada mereka.

Ketika aku membalikkan badan untuk kembali ke kelas, Septi menghalangi langkahku. Aku menarik nafas kesal, bosan meladeni gadis seperti dia.

“Aku ingin kita berteman,”
Keningku berkerut heran, tak mengiyakan ucapannya.

“Kumohon, jadikan aku temanmu dan ajari aku pelajaran Bahasa Indonesia.”

Aku bisa mengerti perasaan Septi yang selalu mendapat nilai jelek setiap pelajaran Bahasa Indonesia. Aku pernah ada di posisi dia, tapi aku tidak bisa menerima ucapannya begitu saja setelah apa yang ia lakukan kepadaku selama ini.
“Maafkan aku!” lanjutnya,
- Ayolah Mey, tunggu apalagi sambutlah permintaan maafnya.
- Nggak, aku benci dia. Aku ingin membalas semua kejahatannya kepadaku.
- Untuk apa?
- Agar hatiku puas, bukankah segala kejahatan harus dibalas dengan kejahatan. Ini karma bukan?

♥ Jika kejahatan harus dibalas dengan kejahatan apa itu tidak mungkin kejahatan yg akan kamu lakukan padanya akan menumbuhkan kejahatan baru untukmu sendiri??? Sadar donk Mey, jika terus dibalas dengan kejahatan bukan menghentikan permasalahan namun menyambung kejahatan. Inget looo…kata Mama kalau ada yang minta maaf sama kita harus disambut dengan baik. Kebaikanlah yg harus dibalas dengan kebaikan ^_^ ♥

Aku berperang sendiri dengan perasaanku. Iya benar, aku tidak mungkin melakukan hal yang paling tidak aku suka selama hidupku. Lagipula aku adalah Meylisa bukan dia yang suka usil dan mengejek. Bibirku memang diam memandang Septi namun kedua tanganku menyambut tuk memeluknya. Ada tangisan lega di hati kami. Setelah kejadian itu kamipun berbaikan. Kuucapkan terima kasih untuk kebaikan yang masih mau mengelilingiku.

Dear Diary

:::::.. "Aku ingin wajahku putih seperti gadis di lapangan basket itu. Jika wajahku putih, mungkin gak ya Kak Radit akan menyukaiku @_@ tapi gimana caranya ya???............................. "

Hampir lima belas menit aku menemani mama yang sedang asyik memakai cream. Di depannya berbaris rapi tiga cream dengan warna tutup yang berbeda. Ada yang berwarna pink, hijau dan biru.

“Ini cream apa Ma, pemutih ya?”

“Ini bukan sekedar cream pemutih. Tapi fungsinya juga untuk menghilangkan kerutan dan bekas jerawat,”

“Harganya mahal ya Ma?”

“lumayan, cream ini berdasar resep dokter kulit mama jadi gak dijual di sembarang tempat,”

Kalau aku pakai cream pemutih kayak punya mama pasti kulitku tampak lebih putih dari biasanya. Cling..cling..cling….tapi berapa harganya ya? Kapan hari bi’Minah pernah cerita kalau tetangga sebelah beli cream seharga 500 ribu. Gleeek…!!! 500 ribu hanya untuk sebuah cream pemutih, aku tidak punya duit sebanyak itu kecuali kalau aku mau menyisihkan uang saku sebulan. Tapi kalau 500ribun aku tabung semua, aku beli jajan pakai apa? Beli buku terbaru juga pakai apa? Urrrgh..pokoknya harus bisa. Kuputar otakku mencari cara yang efektif.

Mulai hari itu aku membawa bekal dari rumah, teman-teman sempat heran melihatku tapi akunya cuek saja. Kebiasaan membeli camilan juga aku kurangi, gak papa ngorbanin sedikit kebiasaan karena Ini semua demi menggemukkan tabunganku.

“ Cari apa dek?” Tanya mbag cantik di sebuah counter kosmetik.

“Cari,,,,,cari,,,,” aku masih malu-malu untuk mengatakannya.

“kebetulan disini ada produk baru, apa adek mau mencoba?”

“Maksutnya Cream pemutih wajah?”

“Oooo adek cari cream pemutih wajah ya?” cepat-cepat mbag cantik mengeluarkan sebuah produk cream.

“Ini cocok untuk usia 16 tahun ke atas”

“Tapi aku masih 13 tahun mbag,”

“Ooo kalau begitu cukup pakai pembersih dan pelembab saja.”

“Tapi aku ingin cream pemutih,”

“Gimana kalo yang ini? Kayaknya ini cocok untuk segala usia.”

Aku mengiyakan saja. “Harganya berapa mbag?”

“ cukup dua puluh lima ribu saja,”

“Apaaa???!!!” suaraku membuat beberapa orang di sekelilingku menjaringkan pandangannya terhadapku. Waduh, kog murah ya? Apa karena ini cocok untuk segala usia? Seharusnya kan? Ah daripada bertanya-tanya sendiri akupun membelinya. Tak ada salahnya mencoba. Pikirku.

“Tuit tuit tuit,” Satu sms kuterima dari Echa.
Nonton basket yukz, sekolah kita tanding looo….!
dalam hitungan detik, kubalas “Yukz
Top of ForBottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar