"Cinta di balik tirai hujan"
Sayangnya kini aku tak mengerti
Begitu berat rasa ingin memelukmu
Tapi kuhanya bisa mengingatmu
Karena kau tak pernah tau tentang rasa ini
Suara emas Geisha masih setia menemani ketika aku duduk
sendiri di halte kampus. Tatapanku tak mau berkedip melihat kendaraan yang
berlalu lalang di hadapanku. Kedatanganku ke kota masa lalu bukan tanpa alasan.
Aku ingin mengejar cita-cita dan mengintip cinta yang tertinggal. Ini adalah
hari pertama datang ke kampus. Sambil menunggu angkot datang, kubuka kembali
berkas-berkas dalam map biru. Gerakan tanganku berhenti menggenggam erat sebuah
kertas ulangan bernilai enam puluh dengan tulisan bak cakar ayam. Sengaja
kubawa kertas ulangan itu karena ia bukan sekedar kertas lusuh yang tak
berarti, ialah awal yang mengantarkanku pada sebuah perubahan. Aku tersipu malu
menatapnya.
Belum sempat mesin pengingat otomatisku berjalan tiba-tiba
terdengar suara rintik-rintik hujan. Aku berdiri, membiarkan tangan kananku
menari ringan diantara tirai hujan yang menyapaku. Kuhirup lekat-lekat aroma
basah aspal. Aku menikmati dentingan bunyi air hujan yang membentuk sebuah nada
mengalirkan pikiranku untuk menepi ke masa lalu, udara sejuk meresap pelan ke
ingatanku pada seseorang. Dia, kekasih hati yang kucinta dengan diam-diam
ketika masih duduk di bangku SMP. Meski rasa ini tak terucap di hadapannya,
sengaja kuambil kata cinta untuk dirinya karena dialah yang secara tidak
langsung mendorongku untuk menggunakan cinta di jalan yang benar.
Langkahku memaku karena telah berhadapan dengan sebuah
bangunan besar dimana gapuranya bertuliskan “SMP TUNAS BANGSA”. Ini bukan
keinginanku untuk masuk di sekolah favorit, tetapi mama terus memaksa karena
dulu ayah sekolah disini. Mama ingin kelak aku bisa seperti ayah, menjadi
seorang hakim.
“Buuugh…!!!” Seseorang menabrak punggungku dari belakang.
“Gendut,” Aku melihat kesal, dia adalah Septi. Gadis
usil yang selalu memusuhiku sejak duduk di bangku SD itu, juga sekolah disini.
“Buuugh...!!!” Tabrakan ke dua untuk punggungku.
“Item,” kali ini Novi yang bersuara.
Mereka adalah sepasang sahabat kompak yang tidak menyukaiku.
Karena menurut mereka, aku ini ......
“Jeeeleeeek…..” serempak mereka sambil menjulurkan lidah dan
membelakangiku yang terbengong malu. Beberapa anak yang kebetulan lewat ikut
menertawaiku.
Awal yang membosankan. Kuletakkan tas berwarna coklat di
atas meja barisan kedua dari depan karena inilah pesan mama sebelum berangkat
ke sekolah. Mama menyuruhku untuk tidak duduk di belakang agar aku bisa
menerima materi pelajaran yang disampaikan. Belum sempat duduk, kudengar suara
cekikikan yang tidak asing lagi di kupingku. Pemilik suara itu tak lain adalah
Septi dan Novi. Oh Tuhan, mengapa mereka harus sekelas denganku???
“Hai…” seorang gadis berwajah oriental menyapa, kuraih
uluran tangannya.
“Geisha, panggil aku Echa,”
“Meylisa, biasa dipanggil Mey,”
“Aku baru pindah ke kota ini, belum memiliki teman. Boleh
sebangku ??”
Kuiyakan dengan anggukan pelan. Syukurlah, Tuhan mengirimkan
seorang teman. Kuharap kami bisa bersahabat baik.
“Molotos bolon hojou dor, hotoko songot kocou. Bolonko
tonggol ompot kopogong orot orot…”
aku dan Echa menyanyi lagu balonku di depan Kak Reta salah
satu pengurus osis dengan mengganti semua huruf vocal menjadi huruf “O”.
Ini kami lakukan hanya untuk mendapatkan tanda-tangannya. Selama masa
orientasi, pengurus osis layaknya artis dan kami para siswa baru adalah fansnya
yang memburu untuk meminta tanda-tangan. Untuk mendapatkannya tak mudah, ada
tantangan yang diberikan kepada kami. Setelah mendapatkan tanda tangan, tak
jarang beberapa siswi yang centil meminta foto bersama kakak osis yang
menurut mereka berwajah tampan.
“Meylisa...”
“Saya, Kak,” jawabku sembari sedikit membungkukkan badan.
Terlihat aneh tapi inilah ajaran mama, memberi hormat pada orang yang memanggil
nama kita untuk pertama kalinya. Kak Reta memandangku dari ujung kaki ke ujung
rambut.
“Nih!”
kuterima kertasku yang berisi sederetan nama pengurus osis
dan sudah tertera tanda tangannya.
“Berarti kamu Geisha?”
“Iya,”
Ada semburat senyum di wajah Kak Reta.
“Tulis nomer hapemu. Mungkin suatu saat nanti aku
menghubungi untuk menjadikanmu sebagai model fotoku,”
Tanpa ragu, Echa menulis nomer hapenya di kertas yang
diberikan Kak Reta. Aku hanya bisa melihatnya, pastilah senang menjadi gadis
seperti Echa. Banyak cowok-cowok yang menyukainya. Dia cantik dan ramah,
melangkah sedikit saja sudah banyak yang mengajaknya berkenalan. Tidak seperti
aku yang terus berkutat dengan kekuranganku.
Echa menggandeng tanganku penuh sahabat. Baru kali ini aku
berteman dengan cewek cantik. Dia sangat baik dan aku selalu minder di
dekatnya. Bila kami berjejer seperti ini, angka “X” symbol kebalikan kami
sangat mencolok. Dia cantik, aku jelek. Dia putih, aku cokelat. Dia langsing,
aku endut. Kemana dia pergi selalu disapa tanpa menghiraukanku yang selalu ada
di dekatnya. Mungkin diriku tak terlihat oleh mereka karena tertutup
kesempurnaan Echa.
“Sruuuuut!!!” Novi menarik kertas orientasiku ketika kami
berpapasan di koridor kelas VIIA
“Wuaaa si jelek ini ternyata hebat juga Sep, lihat..! semua
nama telah terisi tanda tangan kecuali Kak Radit.” Aku berusaha merebut, namun
tangan Septi lebih gesit mengambilnya.
“Berikan kertas itu…!” teriak Echa.
“Ckckckck…..ada pahlawannya ne yeeh. Heran deh sama kamu,
kenapa suka banget berteman sama si jelek,item,ndut….urrrrfff. mending gabung
aja sama kami,”
“Sudah, berikan saja kertas itu!”
Badan Septi cukup tinggi, aku tidak bisa meraih kertas yang
dijunjung tinggi tangannya. Sambil tertawa riang, ia mengibaskan kertas ke
udara dan angin yang begitu kencang membawanya terbang.
“Ups…Sorry, kertasnya terbang. Hahahahaha...” itu bukanlah
ucapan penyesalan. Tubuh gemukku mengejar kertasku yang terbangnya semakin
tinggi.
“Ayo ndut…kejar kalau bisa hahahahaha” Novi masih sempatnya
mengejekku.
“Jahaaat, ternyata hati kalian tidak secantik wajah yang
dipunya.” ucapan Echa menghentikan tawa mereka.
Kulihat kertasku akan mendarat ke arah rimbunan pohon mawar,
kupercepat langkah dan membungkuk mencarinya. Echa turut membantu namun kami
sama-sama tidak menemukan.
“Meylisa…”
seseorang memanggil namaku. Kepalaku mendongak ke arah suara
itu. Kikuk hati melihat papan nama di atas saku seragam putihnya. Raditya ,
dialah sang ketua Osis yang dielu-elukan oleh anak-anak karena paras wajahnya
yang tampan. Selama ini aku hanya bisa mendengar dari cerita mereka dan
sekarang aku bertemu dengannya. Tidak hanya itu, ia menyebut namaku. Mungkinkah
ia telah mengenalku?
“Iya,Kak?” sedikit kubungkukkan badan.
Kak Radit tersenyum. Aku suka senyumannya, manis sekali. Ia
berajalan menuju ke arahku. Sangat kurasakan sepoian angin mengipas rambutku ke
belakang. Badanku terasa ringan merasa menjadi seorang putri yang dihampiri
oleh sang pangeran. Beberapa pasang mata menjadi saksi pemandangan ini.
“Ini yang kalian cari ya?”
terjawab rasa GR-ku, ternyata Kak Radit mengetahui namaku
dari kertas orientasiku. Hatiku menertawai kepolosanku. Seharusnya aku sadar,
gadis sepertiku tak mungkin terlihat pandangannya. Kak Radit menarik kembali
kertasku dan melihatnya dengan seksama.
“Ternyata belum ada tanda tanganku ya?”
tangannya merogoh bolpoint di sakunya, tanpa kuminta dia
melukiskan tanda tangannya lalu menyerahkan kertas itu kepadaku. Senyuman dan
sikapnya yang baik mulai memupuk lahan hatiku yang masih kosong.
“Punyaku juga…!” Echa menyodorkan kertasnya. Kupandang lagi
senyumannya, masih terlihat sama dan menghipnotisku diriku.
“Terima kasih, Kak…”
kompak kami dan Kak Radit berpamitan meninggalkan kami
berdua yang langsung loncat ringan karena lengkap sudah pencarian tanda-tangan
para pengurus osis, itu artinya kami akan terbebas dari hukuman.
“Kak Radit cakep ya?”
senyumanku pudar mendengar ucapan Echa. Ada rasa takut di
hati jika Echa menyukainya karena Kak Radit akan memilih dia ketimbang diriku.
Aduh, apaan sih? Belum apa-apa kog sudah takut. Siapa aku, siapa Kak Radit??
Sadar-sadar donk. Lirikanku mengarah pada punggung tegap Kak Radit yang
membelakangi kami jarak jauh, selang beberapa detik Kak Radit menoleh dan
tersenyum. Untuk siapakah senyuman itu? Kuharap bukan hanya untuk Echa tapi
juga untuk diriku.
Alasanku tidak mau belajar di sekolah favorit adalah
pergaulan yang terlihat individual, berkelompok dan mementingkan diri sendiri.
Yang beken tambah beken sedangkan yang lemah tertindas dan mungkin tersisihkan.
Guru hanya memperhatikan mereka yang berprestasi. Itulah awal penilaianku
karena hanya berpacu pada sikap Novi dan Septi yang masih senang menggangguku.
Aku mengira yang cantik dan cakep hanya untuk mereka kawan yang cantik dan
cakep saja tidak untuk diriku yang dinilai jelek dan tidak berpotensi. Kini
penilaian itu kutepis setelah bertemu dengan Echa dan juga Kak Radit.
Penilaianku salah, tak seharusnya aku memandang suatu hal dengan kaca mata
hitam sehingga hijaunya rerumputan dan cerahnya mentari kan terlihat gelap
olehku. Tak seindah kenyataannya.
Hari ini adalah pelajaran Bahasa Indonesia di kelas kami.
Aku tidak suka pelajaran itu karena aku tidak mampu bermain dengan kata-kata.
Aku lebih suka pelajaran berhitung yang hasil prosesnya pasti bukan
kemungkinan. Sedangkan di pelajaran Bahasa Indonesia, otakku harus berpikir
keras untuk mengembangkan kata menjadi kalimat. Mencari kalimat yang tepat
untuk sebuah jawaban dan merangkai untaian kata kata hiperbola dalam mengarang.
Alasan akhirnya, tulisanku jelek seperti cakar ayam.
“Hari ini ibu akan bagikan hasil ulangan kalian minggu
lalu,”
Ibu Leni, guru bahasa Indonesia kami menyuruh Vito sang
ketua kelas membagikan hasil ulangan kami. Suasana kelas mulai gaduh tak sabar
ingin melihat nilainya membuat Ibu Leni mengetok-ngetokkan mejanya.
“Tok tok tok, tolong tenang sejenak. Ibu ingin mengumumkan
nilai tertinggi dan terendah di kelas ini.”
Suasana hening. Sedangkan jantungku berdegup kacau sekacau
hasil ulangan yang baru kuterima. Tertera nilai enam puluh di pojok kanan
paling atas.
“Nilai terendah adalah 40. Banyak kesalahan dalam menulis
jawaban dan ia tidak mengumpulkan tugas mengarang. Untuk yang merasa memegang
nilai 40 tolong nanti menemui ibu di waktu pulang nanti”
Aku lega mendengarnya, ternyata masih ada siswa yang lebih
membenci pelajaran bahasa Indonesia daripada diriku. Tapi siapakah dia?
“Nilai tertinggi adalah 85, diraih oleh Yanela Geisha…”
Terdengar riuh suara tepukan untuk Echa yang pipinya mulai kembang kempis
antara senang dan sedikit malu-malu kucing.
“Selamat ya,” bisikku.
Lalu kudengar namaku disebut oleh Ibu Leni.
“Oya, untuk yang bernama PutriMeylisa. Tolong perbaiki
tulisanmu.!!!”
“Huuuuuuuuuuuhuuuhhuhuhuhuhuuuuuu”
ledekan terdengar serempak, suara Novi dan Septi-lah yang
paling keras. Mungkin mereka merasa menang. Aku menunduk malu, bukan malu-malu
kucing tapi malu-maluin. Echa memgang erat jemariku berusaha menenangkanku dari
sikapnya yang lembut.
“Mulai nanti, kita belajar bersama-sama ya!” bisiknya.
Bel pulang mulai berbunyi. Layaknya anak yang masih di bawah
umur tujuh belas tahun, beberapa penghuni kelas ini berebut ingin keluar kelas
lebih dahulu. Merekapun saling berhimpit-himpitan dan dorong mendorong.
Sebagian dari kami tertawa melihat aksi mereka.
“Hei lihat, ternyata yang mengoreksi ulangan harian ini
adalah murid-murid kelas 9B itu kan kelas KakRadit. Coba dilihat mungkin dia
koreksi ulangan punya kita” celoteh Novi dan anak-anak yang mendengarnya
membuka kembali tas mereka merogoh kertas ulangan. Aku juga ingin mengetahui
siapa yang telah mengoreksi ulangan harianku.
Setelah kulihat suasana sepi, di pojokan tempat parkir
diam-diam kubuka pelan tasku. Sambil memejamkan mata kurogoh kertas ulanganku.
Bola hitam mataku mengintip sedikit demi sedikit.
Degh….!!!
Korektor : Raditya /9B
~ Aku yakin tulisanmu bisa lebih baik dari ini~
Dadaku sesak seketika, cairan makna kata-katanya menyirami
ladang hatiku menumbuhkan benih-benih bunga yang indah. Sedikit lagi bunga itu
akan tumbuh merekah dan sanggupkah aku mengatasi kemajuan ladang hatiku yang
tumbuh begitu cepat?
Aku meloncat girang, berkali-kali kucium kertas ulanganku.
Tanganku mengibarkan kertas ulanganku, pinggulku bergoyang ke kanan kiri. Namun
gerakanku berhenti ketika tatapan Novi menangkapku.
“Hahahaha ternyata penyakit si jelek lagi kambuh,”
matanya menerkam tajam kertas yang kupegang. Segera
kumasukkan ke dalam tas berlalu begitu saja. Untungnya Bang Diman, sopir
pribadi ayah telah siap menjemputku. Terserah besok ia akan meledekku apa, yang
penting hari ini kertasku selamat. Aneh, mengapa Novi pulang sendiri? Kemanakah
Septi?
“Aku ingin les privat bahasa Indonesia, Ma …!”
rengekku ketika mama menyiapkan makan siangku. Mama tertawa
geli berfikir aku hanya mencari perhatiannya saja.
“Dimana-mana tuh kalau mau les ya les matematika, bahasa
asing, music atau apalah. Kok Mey malah minta les bahasa Indonesia. Emangnya
Mey anak Jepang?”
“Tapi aku butuh les itu Ma, aku mau belajar nulis,”
“Hah?? bertahun-tahun mama nyekolahin Mey biar bisa nulis.
Kok sekarang masih mau belajar nulis?”
“Tulisanku jelek,”
“Hahahahhaa, kalau itu mama sudah tau, salah Mey juga lebih
suka ngotak-ngatik computer dan maen itung-itungan. Kalau dibilangin malah
jawab tulisan dokter juga jelek”
Mungkinkah Meylisa akan punya Guru Les???
Siapa ya?????
Mama tidak memberi solusi untuk
masalahku. Untungnya Bi’ Minah mendengar percakapan kami , iapun memberia aku
“Tips”. Setiap pagi aku mengikuti saran Bi’ Minah untuk memainkan buah jeruk
nipis diantara sela-sela jariku, memutarnya dan berusaha menahan dalam
genggamanku. Katanya senam jari itu melatih jari-jari agar bisa lebih lemas
sehingga tangan kita tidak kaku di saat menulis.
Ting tong ting….
Sudah bisa kutebak siapa yang memencet bel
sore-sore begini.
“Biar aku yang buka, Ma!” seruku berlari kecil
menuju pintu depan.
Dugaanku tidak salah. Seorang gadis cantik
berkaos pink dan menyelempangkan tas mungilnya ada dihadapanku. Senyumannya
mengembang tulus. Sambil menggandeng tangannya aku mengajaknya masuk ke kamar.
“Gimana udah siap?” tanyanya.
“Pasti donk….”jawabku.
Aku mengambil beberapa peralatan tulis namun
Echa malah memberi aku dua buah diary.
“Untuk apa?”
“Untuk sarapan, xixixixixi….ya untuk
menulis-lah. Diary pink ini adalah diaryku sejak SD dan yang biru punya Mey.
Mulai saat ini Mey harus ngebiasain nulis-nulis di diary terserah deh mau nulis
apa. Nulis tentang aku, atau Novi dan Septi yang usil juga gak papa hihihihi,”
Echa memperlihatkan mata sipitnya semakin sipit.
“Kata Mamaku, kalau kita membiasakan menulis
hal-hal di sekitar kita itu melatih otak untuk terus berfikir dan
berfikir,,,,sehingga kita punya kamus kata,”
Aku manggut-manggut mendengarnya. Dalam hati
bingung enaknya mau nulis apa ya??
“Sekarang kita mulai nulis yuk!” ajaknya
“Boleh liat punya Echa ga?”
“Yeee gak boleh donk,,,emangnya ini ulangan peke
acara nyontek…hehehe. Udah nulis ajah, terserah deh..tentang Bi’ Minah juga
boleh hihihihi,”
Tidak lama kemudian, mama masuk ke kamar membawa
makanan ringan dan minuman segar. Mama sangat senang sama Echa. Oya, ini pertama
kalinya temanku main ke rumah. Selama ini tidak ada teman yang mau bermain
denganku apalagi berkunjung ke rumah. Hufht…
♥ Eheeemmm….buat teman-teman yang udah baca
cerita ini dari awal, maaf ya…guru les-ku bukan Radit tapi Echa teman
sebangkuku ^_* ♥
Sore hari, Echa sering bermain ke rumah untuk
mengajariku menulis rapi dan malam harinya aku mencoba menulis kisahku dalam
buku harian dimana peran utamanya adalah aku dan Kak Radit. Tak hanya itu, aku
mulai gemar membaca untuk menampung kata-kata dalam tandonku yang nantinya bisa
digunakan ketika ada tugas mengarang.
Tulisanku terlihat sedikit rapi dari sebelumnya,
satu per satu tugas mengarangku yang dinilai layak oleh Bu Leni bertengger di
mading. Satu karya tentang cinta diamku duduk manis di majalah remaja.
“Hari ini Ibu ingin mengucapkan selamat kepada
salah satu teman kita semua. Yaitu Putri Meylisa, salah satu karya tulisnya
lolos untuk diikut sertakan dalam lomba LKTIR tingkat provinsi. Selamat ya
Meylisa….mulai minggu depan, setiap sore kamu dalam bimbingan ibu untuk
berlatih. Oke …”
Plok…plok…plok…
Tepukan riuh terdengar, teman-teman langsung
menghampiri dan menyalamiku satu per satu. Ada juga jabatan tangan Novi dan
Septi meski terasa berat dan kaku. Mataku membening, aku senang akan hal ini merasa
keberadaanku telah dianggap ada oleh meraka. Ini semua berkat Mama, Bi’Minah,
Echa dan juga Kak Radit …… hihihihi.
~ Selamat ya ^_^ ~
Sebuah kertas sengaja diselipkan di lokerku. Aku
tidak tau siapa yang telah berani menulisnya, kuperhatikan sejenak tulisannya.
Goresan penanya mengingatkanku pada tulisan Kak Radit, akupun membandingkannya.
Dadaku sakit, kemiripan goresan pena itu membuat perasaanku terus mengembang.
Entah kekuatan dari mana, langkahku ringan
mencari sosok Kak Radit ingin menanyakan kebenaran ini. Sebuah sikap konyol
namun harus kulakukan karena ku tak sanggup menahan rasa ini sendiri. Dengan
mengikuti firasat aku berjalan menuju lapangan basket. Tebakanku benar, Kak
Radit sedang asyik bermain basket dengan teman-temannya. Namun niatku terhenti,
aku menggigit kuat-kuat bibirku. Serasa ada beban berat yang menindih kepalaku,
dadaku sesak bergemuruh tidak karuan. Kupastikan tubuhku seimbang ketika
kulihat seorang siswi berkulit putih memanggil Kak Radit, ia menghampiri tuk memberi
sekotak bekal dan Kak Radit menerimanya dengan ramah. Siswa disekitar bersorak
kepada mereka.
Ketika aku membalikkan badan untuk kembali ke
kelas, Septi menghalangi langkahku. Aku menarik nafas kesal, bosan meladeni
gadis seperti dia.
“Aku ingin kita berteman,”
Keningku berkerut heran, tak mengiyakan
ucapannya.
“Kumohon, jadikan aku temanmu dan ajari aku
pelajaran Bahasa Indonesia.”
Aku bisa mengerti perasaan Septi yang selalu
mendapat nilai jelek setiap pelajaran Bahasa Indonesia. Aku pernah ada di
posisi dia, tapi aku tidak bisa menerima ucapannya begitu saja setelah apa yang
ia lakukan kepadaku selama ini.
“Maafkan aku!” lanjutnya,
- Ayolah Mey, tunggu apalagi sambutlah
permintaan maafnya.
- Nggak, aku benci dia. Aku ingin membalas semua
kejahatannya kepadaku.
- Untuk apa?
- Agar hatiku puas, bukankah segala kejahatan
harus dibalas dengan kejahatan. Ini karma bukan?
♥ Jika kejahatan harus dibalas dengan kejahatan
apa itu tidak mungkin kejahatan yg akan kamu lakukan padanya akan menumbuhkan
kejahatan baru untukmu sendiri??? Sadar donk Mey, jika terus dibalas dengan
kejahatan bukan menghentikan permasalahan namun menyambung kejahatan. Inget
looo…kata Mama kalau ada yang minta maaf sama kita harus disambut dengan baik.
Kebaikanlah yg harus dibalas dengan kebaikan ^_^ ♥
Aku berperang sendiri dengan perasaanku. Iya
benar, aku tidak mungkin melakukan hal yang paling tidak aku suka selama
hidupku. Lagipula aku adalah Meylisa bukan dia yang suka usil dan mengejek.
Bibirku memang diam memandang Septi namun kedua tanganku menyambut tuk
memeluknya. Ada tangisan lega di hati kami. Setelah kejadian itu kamipun
berbaikan. Kuucapkan terima kasih untuk kebaikan yang masih mau mengelilingiku.
Dear Diary
:::::.. "Aku ingin wajahku putih seperti gadis di lapangan basket itu.
Jika wajahku putih, mungkin gak ya Kak Radit akan menyukaiku @_@ tapi gimana
caranya ya???............................. "
Hampir lima belas menit aku menemani mama yang sedang asyik memakai cream. Di
depannya berbaris rapi tiga cream dengan warna tutup yang berbeda. Ada yang
berwarna pink, hijau dan biru.
“Ini cream apa Ma, pemutih ya?”
“Ini bukan sekedar cream pemutih. Tapi fungsinya juga untuk menghilangkan
kerutan dan bekas jerawat,”
“Harganya mahal ya Ma?”
“lumayan, cream ini berdasar resep dokter kulit mama jadi gak dijual di
sembarang tempat,”
Kalau aku pakai cream pemutih kayak punya mama pasti kulitku tampak lebih putih
dari biasanya. Cling..cling..cling….tapi berapa harganya ya? Kapan hari
bi’Minah pernah cerita kalau tetangga sebelah beli cream seharga 500 ribu.
Gleeek…!!! 500 ribu hanya untuk sebuah cream pemutih, aku tidak punya duit
sebanyak itu kecuali kalau aku mau menyisihkan uang saku sebulan. Tapi kalau
500ribun aku tabung semua, aku beli jajan pakai apa? Beli buku terbaru juga
pakai apa? Urrrgh..pokoknya harus bisa. Kuputar otakku mencari cara yang
efektif.
Mulai hari itu aku membawa bekal dari rumah, teman-teman sempat heran melihatku
tapi akunya cuek saja. Kebiasaan membeli camilan juga aku kurangi, gak papa
ngorbanin sedikit kebiasaan karena Ini semua demi menggemukkan tabunganku.
“ Cari apa dek?” Tanya mbag cantik di sebuah counter kosmetik.
“Cari,,,,,cari,,,,” aku masih malu-malu untuk mengatakannya.
“kebetulan disini ada produk baru, apa adek mau mencoba?”
“Maksutnya Cream pemutih wajah?”
“Oooo adek cari cream pemutih wajah ya?” cepat-cepat mbag cantik mengeluarkan
sebuah produk cream.
“Ini cocok untuk usia 16 tahun ke atas”
“Tapi aku masih 13 tahun mbag,”
“Ooo kalau begitu cukup pakai pembersih dan pelembab saja.”
“Tapi aku ingin cream pemutih,”
“Gimana kalo yang ini? Kayaknya ini cocok untuk segala usia.”
Aku mengiyakan saja. “Harganya berapa mbag?”
“ cukup dua puluh lima ribu saja,”
“Apaaa???!!!” suaraku membuat beberapa orang di sekelilingku menjaringkan
pandangannya terhadapku. Waduh, kog murah ya? Apa karena ini cocok untuk segala
usia? Seharusnya kan? Ah daripada bertanya-tanya sendiri akupun membelinya. Tak
ada salahnya mencoba. Pikirku.
“Tuit tuit tuit,” Satu sms kuterima dari Echa.
Nonton basket yukz, sekolah kita tanding looo….!
dalam hitungan detik, kubalas “YukzTop of ForBottom of Form